Etika Dalam Auditing

Etika Dalam Auditing

            Pada masa sekarang ini, etika sangat diperlukan setiap orang dalam berperilaku. Dalam berbagai hal etika sangat dijunjung tinggi oleh kebanyakan orang. Etika dianggap sebagai sesutu yang bernilai tinggi dalam kehidupan sehari-hari begitu juga dalam proses auditing. Saat melakukan proses auditing, seorang auditor dituntut untuk bisa bekerja dan bertindak secara profesional sesuai dengan etika dan aturan yang ada. Etika dan aturan yang harus ditaati seorang auditor telah ditetapkan oleh pasar modal dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Keputusan yang nantinya diambil oleh seorang auditor sangat berpengaruh kepada publik dan para pengguna keputusan. Untuk itu seorang auditor diharapkan dapat melaksanakan etika dalam auditing yang dilakukan.

       Etika dalam audit dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen untuk melakukan suatu proses yang sistematis dalam proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti secara objektif tentang informasi yang dapat diukur mengenai asersi-asersi suatu entitas ekonomi, dengan tujuan untuk menentukan dan metepkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut, serta melaporkan kesesuaian informasi tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Auditor harus bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan memadai mengenai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan.

            Etika Auditing adalah suatu sikap dan perilaku mentatati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku dalam suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan menilai bukti-bukti secara objektif, yang berkaitan dengan asersi-asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi.

            Etika dalam auditing adalah suatu prinsip untuk melakukan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang dimaksud yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.

            Seorang auditor dalam mengaudit sebuah laporan keuangan harus berpedoman terhadap standar auditing yang telah ditntukan Institut Akuntan Publik Indonesia. Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri atas sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing (PSA). Dengan demikian PSA merupakan penjabaran lebih lanjut masing-masing standar yang tercantum di dalam standar auditing.

 

  1. Kepercayaan Publik

            Kepercayaan masyarakat terhadap auditor sangat diperlukan bagi perkembangan profesi akuntan publik. Dengan adanya kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat tersebut, akan menambah klien yang akan menggunakan jasa auditor. Untuk mendapatkan kepercayaan dari klien, auditor harus selalu bertanggung jawab terhadap laporan yang diperiksa dan mengeluarkan hasil yang sebenar-benarnya, jujur dalam bekerja.

            Profesi akuntan memegang peranan yang penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan Publik merupakan kepentingan masyarkat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.

            Kepercayaan masyarakat umum  sebagai pengguna jasa audit atas independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa independensi auditor ternyata berkurang, bahkan kepercayaan masyarakat juga bisa menurun disebabkan oleh keadaan mereka yang berpikiran sehat (reasonable) dianggap dapat mempengaruhi sikap independensi tersebut. Untuk menjadi independen, auditor harus secara intelektual jujur, bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai suatu kepentingan dengan kliennya baik merupakan manajemen perusahaan atau pemilik perusahaan. Kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggung jawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka.

2. Tanggung Jawab Auditor kepada Publik

            Profesi akuntan di dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Auditor harus memiliki tanggung jawab terhadap laporan keuangan yang sedang dikerjakan.

             Tanggung jawab disini sangat penting bagi auditor. Publik akan menuntut sikap profesionalitas dari seorang auditor, komitmen saat melakukan pekerjaan. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

             Dalam kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani secara keseluruhan.

Publik akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas, obyektifitas, keseksamaan profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani publik. Para akuntan diharapkan memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan jasa imbalan yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa dengan tingkat profesionalisme yang tinggi. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

            Justice Buger mengungkapkan bahwa akuntan publik yang independen dalam memberikan laporan penilaian mengenai laporan keuangan perusahaan memandang bahwa tanggung jawab kepada publik itu melampaui hubungan antara auditor dengan kliennya.

            Ketika auditor menerima penugasan audit terhadap sebuah perusahaan, hal ini membuat konsequensi terhadap auditor untuk bertanggung jawab kepada publik. Penugasan untuk melaporkan kepada publik mengenai kewajaran dalam gambaran laporan keuangan dan pengoperasian perusahaan untuk waktu tertentu memberikan ”fiduciary responsibility” kepada auditor untuk melindungi kepentingan publik dan sikap independen dari klien yang digunakan sebagai dasar dalam menjaga kepercayaan dari publik.

            Profesi akuntan memegang peranan yang penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik. Kepentingan publik adalah kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya serta sesuai dengan kode etik professional AKDA.

Ada 3 karakteristik dan hal-hal yang ditekankan untuk dipertanggungjawabkan oleh auditor kepada publik, antara lain:

  1. Auditor harus memposisikan diri untuk independen, berintegritas, dan obyektif.
  2. Auditor harus memiliki keahlian teknik dalam profesinya.
  3. Auditor harus melayani klien dengan profesional dan konsisten dengan tanggung jawab mereka.

3. Tanggung Jawab Dasar Auditor

Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan, Seorang auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjan yang ia lakukan, agar apa yang telah dilakukan oleh auditor dapat dibaca oleh yang berkepentingan.

  1. Sistem Akuntansi, Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
  2. Bukti Audit, Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional. Dan harus memperoleh bukti yang sangat bermanfaat dalam mengaudit laporan keuangan.
  3. Pengendalian Intern, Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
  4. Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan, Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.

The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab auditor

  1. Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
  2. Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
  3. Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
  4. Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.

            Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.

4. Independensi Auditor

            Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002: 26). Dalam SPAP (IAI, 2001: 220.1) auditor diharuskan bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan di dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern). Terdapat tiga aspek independensi seorang auditor, yaitu sebagai berikut :

  1. Independence in fact (independensi dalam fakta). Artinya auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang erat dengan objektivitas.
  2. Independence in appearance (independensi dalam penampilan). Artinya pandangan pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
  3. Independence in competence (independensi dari sudut keahliannya). Independensi dari sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor.

            Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi dapat juga diartikan adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. Independensi akuntan publik mencakup beberapa aspek, yaitu :

  1. Independensi sikap mental, Independensi sikap mental berarti adanya kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan pendapatnya.
  2. Independensi penampilan. Independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa akuntan publik bertindak independen sehingga akuntan publik harus menghindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan kebebasannya. Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
  3. Independensi praktisi (practitioner independence) Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan progran, independensi investigatif, dan independensi pelaporan.
  4. Independensi profesi (profession independence) Independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.

 

5. Peraturan Pasar Modal dan Regulator mengenai Independensi Akuntan Publik

            Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat. Baik dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.

            Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia mengharuskan auditor menyatakan apakah, menurut pendapatnya, laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dan jika ada, menunjukkan adanya ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

            Undang undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 memberikan pengertian pasar modal yang lebih spesifik yaitu, “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”.

            Pasar modal memiliki peran yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. institusi yang bertugas untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari kegiatan pasar modal di Indonesia adalah Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam.

            Bapepam mempunyai kewenangan untuk memberikan izin, persetujuan, pendaftaran kepada para pelaku pasar modal, memproses pendaftaran dalam rangka penawaran umum, menerbitkan peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan di bidang pasar modal, dan melakukan penegakan hukum atas setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Penilaian kecukupan peraturan perlindungan investor pada pasar modal Indonesia mencakup beberapa komponen analisa yaitu;

  1. Ketentuan isi pelaporan emitmen atau perusahaan publik yang harus disampaikan kepada publik dan BAPEPAM,
  2. Ketentuan BAPEPAM tentang penerapan internal kontrol pada emitmen atau perusahaan publik,
  3. Ketentuan Bapepam tentang, pembentukan Komite Audit oleh emitmen atau perusahaan publik,
  4. Ketentuan tentang aktivitas profesi jasa auditor independen.

            Seperti regulator pasar modal lainnya Bapepam mempunyai kewenangan untuk memberikan izin, persetujuan, pendaftaran kepada para pelaku pasar modal, memproses pendaftaran dalam rangka penawaran umum, menerbitkan peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan di bidang pasar modal, dan melakukan penegakan hukum atas setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

            Salah satu tugas pengawasan Bapepam adalah memberikan perlindungan kepada investor dari kegiatan-kegiatan yang merugikan seperti pemalsuan data dan laporan keuangan, window dressing,serta lain-lainnya dengan menerbitkan peraturan pelaksana di bidang pasar modal. Dalam melindungi investor dari ketidakakuratan data atau informasi, Bapepam sebagai regulator telah mengeluarkan beberapa peraturan yang berhubungan dengan kereablean data yang disajikan emiten baik dalam laporan tahunan maupun dalam laporan keuangan emiten. Ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Bapepam antara lain adalah Peraturan Nomor: VIII.A.2/Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-20/PM/2002 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa Audit Di Pasar Modal. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

  1. Periode Audit Periode yang mencakup periode laporan keuangan yang menjadi objek audit, review, atau atestasi lainnya.
  2. Periode Penugasan Profesional Periode penugasan untuk melakukan pekerjaan atestasi termasuk menyiapkan laporan kepada Bapepam dan Lembaga Keuangan.
  3. Anggota Keluarga Dekat Istri atau suami, orang tua, anak baik di dalam maupun di luar tanggungan, dan saudara kandung.
  4. Fee Kontinjen, Fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut.
  5. Orang Dalam Kantor Akuntan Publik, Orang yang termasuk dalam penugasan audit, review, atestasi lainnya, dan/atau non atestasi yaitu: rekan, pimpinan, karyawan professional, dan/atau penelaah yang terlibat dalam penugasan.

6. Kasus Etika dalam Auditing

Kasus Audit Kas/Teller Laporan Fiktif Kas di Bank BRI Unit TapungRaya

Kepala Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tapung Raya, Masril (40) ditahan polisi. Ia terbukti melakukan transfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa dokumen laporan keuangan. Perbuatan tersangka diketahui oleh tim penilik/pemeriksa dan pengawas dari BRI Cabang Bangkinang pada hari Rabu 23 Februari 2011 Tommy saat melakukan pemeriksaan di BRI Unit Tapung. Tim ini menemukan kejanggalan dari hasil pemeriksaan antara jumlah saldo neraca dengan kas tidak seimbang. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan cermat, diketahu iadanya transaksi gantung yaitu adanya pembukuan setoran kas Rp 1,6 miliar yang berasal BRIUnit Pasir Pengaraian II ke BRI Unit Tapung pada tanggal 14 Februari 2011 yang dilakukanMasril, namun tidak disertai dengan pengiriman fisik uangnya.Kapolres Kampar AKBP MZ Muttaqien yang dikonfirmasi mengatakan, Kepala BRI Tapung Raya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di sel Mapolres Kampar karenamentransfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa laporan pembukuan.Kasus ini dilaporkan oleh Sudarman (Kepala BRI Cabang Bangkinang dan Rustian

Martha pegawai BRI Cabang Bangkinang. “Masril telah melakukan tindak pidana membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan maupun dalam dokumen laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening Bank (TP Perbankan). Tersangka dijerat pasal yang disangkakan yakni pasal 49 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atasUU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dangan ancaman hukuman 10 tahun,” kata Kapolres.

 Polres Kampar telah melakukan penyitaan sejumlah barang bukti dokumen BRI serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait, memeriksa dan menahan tersangka dan 6 orang saksi telah diperiksa dan meminta keterangan ahli.

PENYELESAIAN MASALAH

            Skills Kemampuan yang diberikan harus sesuai dengan bidang kerja yang ia lakukan.Kemudian kemampuan tersebut dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkankontribusi karyawan pada perusahaan. Perusahaan melakukan pelatihan pendidikan secara periodik kepada karyawan sesuaidengan perkembangan teknologi yang berkembang.

            Pembinaan ini sangatlah penting karena setiap karyawan memiliki kepribadian yangberbeda jadi attitude ini harus ditekankan kepada karyawan. Dalam hal ini karyawandiharapkan dapat memiliki kepribadian yang baik sehingga dapat memperkecil resikoterjadinya penyimpangan dari karyawan itu sendiri.

Prosedur Otoritas Yang Wajar

  1. Harus ada batas transaksi untuk masing-masing teller dan head teller.
  2. Penyimpanan uang dalam khasanah harus menggunakan pengawasan ganda.
  3. Teller secara pribadi tidak diperkenankan menerima kuasa dalam bentuk apapundari nasabah untuk melaksanakan transaksi atas nasabah tersebut.
  4. Teller secara pribadi dilarang menerima titipan barang atau dokumen pentingmilik nasabah.

Dokumen dan catatan yang cukup

  1. Setiap setoran/penarikan tunai harus dihitung dan dicocokan dengan buktisetoran/ penarikan. Setiap bukti setoran/ penarikan harus diberi cap identifikasiteller yang memproses.
  2. Setiap transaksi harus dibukukan secara baik dan dilengkapi dengan buktipendukung seperti Daftar Mutasi Kas,
  3. Cash Register (daftar persediaan uangtunai berdasarkan kopurs/masing-masing pecahan)

Kontrol fisik atas uang tunai dan catatan

  1. Head teller harus memeriksa saldo kas, apakah sesuai dengan yang dilaporkanoleh teller.
  2. Head teller harus menghitung saldo uang tunai pada box teller sebelum teller yangbersangkutan cuti atau seteleh teller tersebut absen tanpa pemberitahuan.
  3. Setiap selisih harus diindentifikasi, dilaporkan kepada head teller dan pemimpincabang, diinvestigasi dan dikoreksi.
  4. Selisih uang tunai yang ada pada teller ataupun dalam khasanah harus dibuatkanberita acara selisih kas.
  5. Area teller/ counter/khasanah adalah area terbatas dalam arti selain petugas ataupejabat yang berwenang, tidak diperbolehkan masuk.
  6. Teller dilarang membawa tas, makanan, ataupun perlengkapan pribadi ke counterarea

Pemeriksaan yang dilakukan oleh unit yang independen

  1. Setiap hari Unit Kontrol Intern harus memeriksa transaksi-transaksi yang berasaldari unit kas.
  2. Secara periodik saldo fisik harus diperiksa oleh SKAI.
  3. Pemimpin Cabang melakukan pemeriksaan kas dadakan.

Sumber:

http://nabilasishma.blogspot.co.id/2014/11/etika-dalam-auditing.html

http://ginafirdiani.blogspot.co.id/2014/11/etika-dalam-auditing.html

http://emidiawati.blogspot.co.id/2014/11/tugas-2-etika-dalam-auditing.html

http://sutrisno-amsir.blogspot.co.id/2013/01/beberapa-contoh-kasus-audit.html

http://ikhaandani.blogspot.co.id/2015/10/etika-dalam-auditing.html

ETIKA DALAM KANTOR AKUNTAN PUBLIK

ETIKA DALAM KANTOR AKUNTAN PUBLIK

Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Beretika dalam berbisnis adalah suatu pelengkap utama dari keberhasilan para pelaku bisnis. Bisnis yang sukses bukan hanya dilihat dari  hasil usaha saja, tetapi juga tercermin dari perilaku serta sepak terjang si Pelaku Bisnis dalam proses berbisnis.

Namun pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kode etik sangatlah penting untuk setiap profesi apapun itu. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota profesi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan pegawai.

  1. Etika Bisnis Akuntan Publik

                Etika Bisnis merupakan suatu cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.

                Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan meliputi :

  1. Tanggung Jawab Profesi. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semuakegiatan yang dilakukannya.
  2. Kepentingan Publik. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
  3. Integritas. Auditor dituntut harus memiliki sikap yang baik seperti jujur, bijaksana, serta rasa tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaannya.
  4. Obyektivitas. Auditor diharuskan tidak memihak siapa pun dalam melaksanakan tugasnya atau pun mengumpulkan informasi data.
  5. Kerahasiaan. Auditor diharuskan untuk menjaga sebaik mungkin data atau informasi yang di dapatkan dalam melaksanakan tugasnya.
  6. Kompetensi. Auditor dituntut untuk memiliki pengetahuan, pengalaman, keahlian serta keterampilan yang baik dalam melaksanakan tugasnya.

            Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.

            Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya  telah membuktikan  bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan.

Ada lima aturan etika yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Lima aturan etika itu adalah:

  1. Independensi, integritas, dan obyektivitas
  2. Independensi. Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in facts) maupun dalam penampilan (in appearance)
  3. Integritas dan Objektivitas, Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.
  4. Standar umum dan prinsip akuntansi Standar Umum. Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interpretasi yang terkait yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI:
  5. Kompetensi Profesional. Anggota KAP hanya boleh melakukan pemberian jasa profesional yang secara layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional
  6. Kecermatan dan Keseksamaan Profesional. Anggota KAP wajib melakukan pemberian jasa profesional dengan kecermatan dan keseksamaan profesional.
  7. Perencanaan dan Supervisi. Anggota KAP wajib merencanakan dan mensupervisi secara memadai setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional.
  8. Data Relevan yang Memadai. Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi kesimpulan atau rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya.
  9. Kepatuhan terhadap Standar. Anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa auditing, atestasi, review, kompilasi, konsultansi manajemen, perpajakan atau jasa profesional lainnya, wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan oleh IAI.

 

2. Tanggung Jawab Sosial Kantor Akuntan Publik sebagai Entitas Bisnis

            Tanggung jawab sosial kantor akuntan publik sebagai Entitas Bisnis bukanlah pemberian sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tanggung jawab sosial kantor akuntan publik meliputi ciri utama dari profesi akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakan kepentingan publik dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.

            Sebagai entitas bisnis layaknya entitas – entitas bisnis lain, Kantor Akuntan Publik juga dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk ”uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya, pada Kantor Akuntansi Publik bentuk tanggung jawab sosial suatu lembaga bukanlah pemberian sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tapi meliputi ciri utama dari profesi akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakn kepentingan publik dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.

                   Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi akuntan publik.

3. Krisis dalam Profesi Akuntansi

            Krisis dalam profesi akuntan publik dapat terjadi karena kurangnya minat generasi muda terhadap profesi ini, padahal apabila melihat pertumbuhan industri di Indonesia jasa profesi ini sangat dibutuhkan dan apabila kondisi ini terjadi maka akan mengancam eksistensi profesi ini.

            Profesi akuntansi yang krisis bahayanya adalah apabila tiap-tiap auditor atau attestor bertindak di jalan yang salah, opini dan audit akan bersifat tidak berharga. Suatu penggunaan untuk akuntan akan mengenakkan pajak preparers dan wartawan keuangan tetapi fungsi audit yang menjadi jantungnya akuntansi akan memotong keluar dari praktek untuk menyumbangkan hampir sia – sia penyalahgunaannya. Perusahaan melakukan pengawasan terhadap auditor-auditor yang sedang bekerja untuk melaksanakan pengawasan intern, keuangan, administratif, penjualan, pengolahan data, dan fungsi pemasaran diantara orang banyak. Akuntan publik merupakan suatu wadah yang dapat menilai apakah laporan keuangan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi ataupun audit. Perbedaan akuntan publik dengan perusahaan jasa lainnya yaitu jasa yang diberikan oleh KAP akan digunakan sebagai alat untuk membuat keputusan. Kewajiban dari KAP yaitu jasa yang diberikan dipakai untuk make decision atau memiliki tanggung jawab sosial atas kegiatan usahanya.

            Bagi akuntan berperilaku etis akan berpengaruh terhadap citra KAP dan membangun kepercayaan masyarakat serta akan memperlakukan klien dengan baik dan jujur, maka tidak hanya meningkatkan pendapatannya tetapi juga memberi pengaruh positif bagi karyawan KAP. Perilaku etis ini akan memberi manfaat yang lebih bagi manager KAP dibanding bagi karyawan KAP yang lain. Kesenjangan yang terjadi adalah selain melakukan audit juga melakukan konsultan, membuat laporan keuangan, menyiapkan laporan pajak. Oleh karena itu terdapat kesenjangan diatara profesi akuntansi dan keharusan profesi akuntansinya.

4. Regulasi dalam Rangka Penegakan Etika Kantor Akuntan Publik

            Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis maka perlu adanya penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi jika pelanggaran serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau anggota profesi maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah aturan-aturan yang berlaku masih perlu tetap dipertahankan atau dipertimbangkan untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan. Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan secara keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya sebagian besar menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai kompartemen akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping kompartemen akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut akuntan manajemen, akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).

            Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita biasannya yang menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat sering diangap sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus tersebut sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran terhadap SAK. Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat melakukan penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus dilakukan dan sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan umum pengurus IAI periode 1990 s/d 1994 yaitu :

  1. Penyempurnaan kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas kode etik yang ada baik sebagai tanggapan atas kasus pengaduan maupun keluhan dari rekan akuntan atau masyarakat umum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari seminar pemutakhiran kode etik IAI, hotel Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan kongres ke-7 di Bandung dan masih terus dansedang dilakukan oleh pengurus komite kode etik saat ini.
  2. Proses peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun dewan pertimbangan profesi dan tindak lanjutnya (peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian sebagai anggota IAI).
  3. Harus ada suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif untuk mengajukan pengaduan baik kepada badan pengawasan profesi atas pelanggaran kode etik meskipun tidak ada pengaduan dari pihak lain tetapi menjadi perhatian dari masyarakat luas.

Perkembangan terakhir dalam etika bisnis dan profesional

          Etika dalam dunia bisnis diperlukan untuk menjaga hubungan baik dan fairness dalam dunia bisnis. Etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri, pertama kali timbul di amerika srikat pada tahun 1970-an. Untuk memahami perkembangan etika bisnis De George membedakannya kepada lima periode, yaitu :

1)    Situasi Dahulu Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain, menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Pada masa ini masalah moral disekitar ekonomi dan bisnis disoroti dari sudut pandang teologi.

2)   Masa Peralihan: Tahun 1960-an Pada saat ini terjadi perkembangan baru yang dapat disebut sbagai prsiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis. Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan), pada saat ini juga timbul anti konsumerisme. Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan memasukan mata kuliah baru ke dalam kurikulum dengan nama busines and society and coorporate sosial responsibility, walaupun masih menggunakan pendekatan keilmuan yang beragam minus etika filosofis.

3)   Etika Bisnis Lahir di AS: Tahun 1970-an Terdapat dua faktor yang mendorong kelahiran etika bisnis pada tahun 1970-an yaitu: – Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis – Terjadinya krisis moral yang dialami oleh dunia bisnis. Pada saat ini mereka bekerja sama khususnya dengan ahli ekonomi dan manejemen dalam meneruskan tendensi etika terapan. Norman E. Bowie menyebutkan bahwa kelahiran etika bisnis ini disebabkan adanya kerjasama interdisipliner, yaitu pada konferesi perdana tentang etika bisnis yang diselanggarakan di universitas Kansas oleh philosophi Departemen bersama colledge of business pada bulan November 1974.

4)   Etika Bisnis Meluas ke Eropa: Tahun 1980-an Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Hal ini pertama kali ditandai dengan semakin banyaknya perguruan tinggi di Eropa Barat, yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis. Pada tahun 1987 didirikan pula European Ethics Network (EBEN), yang digunakan sebagai forum pertemuan antara akademisi dari universitas, sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional dan internasional.

5)   Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: Tahun 1990-an Etika bisnis telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan kawasan dunia lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis adalah Institute of Moralogy pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india etika bisnis dipraktekkan oleh Management Center of Human Values yang didirikan oleh dewan direksi dari Indian Institute of Management di Kalkutta tahun 1992. Lalu pada 25-28 Juli 1996, telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) di Tokyo. Di Indonesia sendiri, pada beberapa perguruan tinggi terutama pada program pascasarjana telah diajarkan mata kuliah etika bisnis. Selain itu bermunculan pula organisasi-organisasi yang melakukan pengkajian khusus tentang etika bisnis misalnya lembaga studi dan pengembangan etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia) di jakarta.

       Kini masyarakat berada dalam fase perkembangan bisnis danekonomi kapitalismesemenjak kejatuhankomunisme. Maka, kapitalisme berkembang pesat tanpa timbul hambatan yang berarti. Kini bisnistelah menjadibesar meninggalkan bisnis tradisional yang semakin terdesak, bahkan teraksisikan. Kekayaan perusahaan swasta di berbagai negara dapat melebihi kakayaan negara.

5. Peer Review

            Peer review adalah proses regulasi oleh sebuah profesi atau proses evaluasi yang melibatkan individu-individu yang berkualitas dalam bidang yang relevan. Metode peer review bekerja untuk mempertahankan standar, meningkatkan kinerja dan memberikan kredibilitas. Dalam dunia akademis peer review sering digunakan untuk menentukan kesesuaian sebuah makalah akademis untuk publikasi.

6. Contoh Kasus Etika dalam Kantor Akuntan Publik

Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak.

September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.

Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.

Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.

Pembahasan : pada kasus ini KPMG melanggar prinsip intergitas dimana dia menyuap aparat pajak hanya untuk kepentingan kliennya, hal ini dapat dikatakan tidak jujur karena KPMG melakukan kecurangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai akuntan publik sehingga KPMG juga melanggar prinsip objektif.

Sumber:

http://natariadaeli.blogspot.co.id/2015/01/etika-dalam-kantor-akuntan-publik-dan.html

http://zaicorp-zaicorp.blogspot.co.id/2015/01/etika-dalam-kantor-akuntan-publik.html

http://aniesrusyantini.blogspot.co.id/2012/01/kasus-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html

http://camilla-zahra.blogspot.co.id/2015/01/etika-dalam-kantor-akuntansi-publik.html

http://ikhaandani.blogspot.co.id/2015/10/etika-dalam-kantor-akuntan-publik.html

Ethical Governance

GOVERNANCE SYSTEM

Istilah sistem pemerintahan adalah kombinasi dari dua kata, yaitu sistem dan pemerintahan. Berarti sistem secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional antara bagian-bagian dan hubungan fungsional dari keseluruhan, sehingga hubungan ini menciptakan ketergantungan antara bagian-bagian yang terjadi jika satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan. Dan pemerintahan dalam arti luas memliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam menjalankan kesejahteraan Negara dan kepentingan Negara itu sendiri. Dari pengertian itu, secara harfiah berarti sistem pemerintahan sebagai bentuk hubungan antar lembaga Negara dalam melaksanakan kekuasaan Negara untuk kepentingan Negara itu sendiri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

BUDAYA ETIKA

Pada saat ini topik tentang pengembangan budaya etika menjadi pembicaraan di kalangan para pemimpin perusahaan kelas dunia baik di Amerika maupun Eropa. Tujuan pengembangan budaya etika adalah meningkatkan kualitas kecerdasan emosional, spiritual dan budaya yang diperlukan oleh setiap pemimpin bisnis sehingga dapat memperlancar proses pengelolaan bisnis yang digeluti. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa hanya budaya etikalah yang dapat menyelamatkan bisnis mereka di masa depan. Hal ini muncul dari hikmah atas peristiwa krisis ekonomi dan keuangan dunia yang berawal di Amerika dimana penyebab utama dari peristiwa tersebut adalah tidak berjalannya etika bisnis dengan dukungan manajemen risiko yang kuat. Para ahli manajemen beranggapan bahwa krisis terjadi akibat beberapa perusahaan tidak menerapkan prinsip-prinsip dengan baik dan benar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar dari peristiwa krisis itulah maka pada saat ini para pemain bisnis global semakin menyadari pentingnya mengembangkan budaya etika berbasis prinsip-prinsip dan nilai-nilai perusahaan.

MENGEMBANGKAN STRUKTUR ETIKA KORPORASI

Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan baik dalam entitas koporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekedar mencari utang belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

KODE PERILAKU KOPORASI (CORPORATE CODE OF CONDUCT)

Pengolahan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Code of conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis PT. Perkebunan dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunikasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct.

Sumber

http://dianmei.wordpress.com/2013/10/23/governance-system/
http://valueconsulttraining.com/human-resources-training/1910-budaya-etika#axzz2oxz9Bywr
http://fatmaambarsari.blogspot.com/2012/12/mengembangkan-etika-struktur-korporasi.html
http://fatmaambarsari.blogspot.com/2012/12/kode-perilaku-korporasi.html

Etika Dalam Akuntansi Keuangan

Etika Dalam Akuntansi Keuangan

Akuntansi keuangan merupakan bidang akuntansi yang mengkhususkan fungsi dan aktivitasnya pada kegiatan pengolahan data akuntansi dari suatu perusahaan dan penyusunan laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan berbagai pihak, yaitu pihak internal dan eksternal. Oleh karena tujuan akuntansi keuangan adalah menyediakan informasi kepada pihak yang berkepentingan, maka laporan keuangan harus bersifat umum sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Laporan keuangan yang dimaksud harus mampu menunjukkan keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan.

Laporan keuangan tersebut harus mampu memberikan suatu rangkaian historis informasi dari sumber-sumber ekonomi, dan kewajiban-kewajiban perusahaan, serta kegiatan-kegiatan yang mengabaikan perubahan terhadap sumber-sumber ekonomi dan kewajiban-kewajiban tersebut, yang dinyatakan secara kuantitatif dengan satuan mata uang.

Seorang akuntan keuangan bertanggung jawab untuk:

  1. Menyusun laporan keuangan dari perusahaan secara integral, sehingga dapat digunakan oleh pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan dalam pengambilan keputusan.
  2. Membuat laporan keuangan yang sesuai dengan karakterisitk kualitatif laporan keuangan yaitu dapat dipahami, relevan, materialitas, keandalan (penyajian yang jujur, substansi mengungguli bentuk, netralitas, pertimbangan sehat, kelengkapan), dapat diperbandingkan, kendala informasi yang relevan dan handal (tepat waktu, keseimbangan antara biaya dan manfaat, keseimbangan di antara karakterisitk kualitatif), serta penyajian yang wajar.

Perilaku Profesi Akuntan

Etika dalam akuntansi seringkali disebut sebagai suatu hal yang klasik. Hal tersebut dikarenakan pengguna informasi akuntansi menggunakan informasi yang penting serta membuat berbagai keputusan. Profesi dalam akuntansi keuangan memegang rasa tanggung jawab yang tinggi kepada publik. Tindakan akuntansi yang tidak benar, tidak hanya akan merusak bisnis, tetapi juga merusak auditor perusahaan yang tidak mengungkapkan salah saji. Kode etik yang kuat dan tingkat kepatuhan terhadap etika dapat menyebabkan kepercayaan investor sehingga mengarah kepada hal yang kepastian dan merupakan hal yang keamanan bagi para investor.

Para akuntan dan auditor dapat menghindari dilema etika dengan memiliki pemahaman yang baik tentang pengetahuan etika. Hal tersebut memungkinkan mereka dapat membuat pilihan yang tepat. Mungkin hal itu tidak berdampak baik bagi perusahaan tetapi dapat menguntungkan masyarakat yang bergantung pada akuntan atau auditor. Aturan kode etik yang ada menjadi panutan bagi akuntan dan auditor untuk mempertahankan standar etika dan memenuhi kewajiban mereka terhadap masyarakat profesi dan organisasi yang mereka layani. Beberapa bagian kode yang disoroti adalah integritas dan harus jujur dengan transaksi mereka, objektivitas dan kebebasan dari konflik kepentingan, kebebasan auditor dalam penampilan dan kenyataan, penerimaan kewajiban dan pengungkapan kerahasiaan informasi non luar, kompetensi serta memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan pekerjaannya.

Kode Etik IAI

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:

  • Kredibilitas, masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
  • Profesionalisme, diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
  • Kualitas Jasa, terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
  • Kepercayaan, Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

  1. Prinsip Etika,
  2. Aturan Etika, dan
  3. Interpretasi Aturan Etika.

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan aturan etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau aturan etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.

Kepatuhan

Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.

Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip Etika Profesi

Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela, Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Prinsip-prinsip berikut adalah:

Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan professional dalam semua kegiatan yang harus dilakukannya.

Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua – Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

Prinsip Ketiga – Integritas

Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

Prinsip Keempat – Obyektivitas

Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

Prinsip Kelima – Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan professional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa professional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.

Prinsip Keenam – Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau menggungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban professional atau hukum untuk mengungkapkan.

Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

Prinsip Kedelapan – Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa professional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan hati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Kode Perilaku Profesional

Profesional adalah orang yang memiliki keahlian tertentu dan menggunakan keahlian yang dimilikinya dan mampu mengemban tugas yang diamanatkan oleh masyarakat.

Dalam istilah umum, tugas yang diharapkan dari seorang professional adalah mempertahankan:

  • Memiliki kompetensi dalam bidang keahlian
  • Objektifitas dalam melakukan pelayanan
  • Integritas dalam menangani klien
  • Konfidensial sehubungan dengan permasalahan klien
  • Disiplin atas anggota yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan standar yang diharapkan.
  • Mampu mengemban tugas yang diamanatkan oleh masyarakat.
  • Memiliki moral yang baik.
  • Memiliki kejujuran.

 

Sumber

http://melaniaisny.blogspot.co.id/2013/10/etika-dalam-akuntansi-keuangan-dan.html

Kind’a Good Welcome

CONVERSATION

Peter     : Have you been to Edinburgh before?

Janis     : No, it’s my first visit

Peter     : a. Oh! Welcome to Edinburgh, this place is nice. You’ll have to make sure

that you are ready to enjoy this city. And don’t forget  to take care.

Janis     : I’m sure I will.

Peter     : And… er, is the hotel alright?

Janis     : Yes, it’s very comfortable.

Peter     : b. Nice to hear that… Anyway, do you have much time here in Scotland?

Are you staying long?

Janis     : No, I have to go back tomorrow afternoon.

Peter     : c. Hmm too fast… But, promise me that you’ll have to come back again!

Janis     : d. Yeah! Actually I wanna take a look around this city, I know this is a

beautiful place. But, I’ll have to do my work i  town. I promise I’ll come back

sooner if there’s a chance.

Peter     : Yeah. You’ll have to! So what time’s your flight tomorrow?

Janis     : Early evening, 18.35

Peter     : Well, I can book you a taxi if you like, to get you there in good time.

Janis     : Oh… I’m sorry but, I’ve booked a taxi where I was in airport for tomorrow.

Thank you so much for your kindness.

Peter     : No problem at all. Was it a good flight today?

Janis     : No, it wasn’t actually.

Peter     : e. Oh, Did something bad happen? g. Or you got long delay or something

crashed?

Janis     : No… it was raining-quite hard. There was a lot turbulence.

Peter     : h. Hmm… it sounds bad, sometimes the weather is unpredictable, we’ll

just have to watch out. But, even it happened you’ll have to Thank God for

landed well.

Penalaran terkait Mall Grade A di Jakarta

Penalaran berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

  • Cara (perihal) menggunakan nalar; pemikiran atau cara berpikir logis; jangkauan pemikiran: kepercayaan takhayul serta yang tidak logis haruslah dikibis habis
  • Hal yang mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman.
  • Proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip

Penalaran berdasarkan penulis

Proses berpikir yang diperoleh dari mencocokkan data, bukti, dan alat penunjang lainnya guna mencapai suatu kesimpulan yang logis terhadap objek penelitian. Secara sederhana adalah rentetan proses berfikir yang sistematis dalam menyimpulkan dan menyelesaikan kondisi-kondisi yang dihadapi.

Definisi Grade Mall

  • Mall Grade A adalah mall-mall yang terletak di Ibukota dan kota-kota besar dengan kapasitasnya yang besar dan terkenal disertai dengan fasilitas-fasilitas premium yang membuatnya berbeda dengan mall-mall biasa. Beberarapa contoh yang dapat kita lihat di Jakarta, diantaranya:
    • Plasa Senayan, Plasa Indonesia, Central Park, Tunjungan Plaza, Supermall Karawaci, Grand Indonesia. FX, Sun Plaza, Discovery Mall, Batam City Square (Batam Mall), dll.
  • Mall Grade B adalah mall-mall yang yang berfungsi sebagai pusat perbelanjaan (trade center) yang memiliki kapasitas yang besar. Beberapa yang termasuk yang dalam kategori ini di Jakarta, yaitu:
    • Mangga Dua Square, Mall Mangga Dua, ITC Cempaka Mas, STC, WTC, dll.

Pada kesempatan ini penulis akan mencoba membagikan pendapat terhadap keberadaan mall-mall di Indonesia dan salah satu mall dengan grade A, yaitu Plasa Senayan yang terletak di Ibukota Indonesia.

Gaya Hidup di Era Modernisasi

Tak dapat dipungkiri era globalisasi yang terus berkembang dan akan semakin berkembang membuat polarisasi gaya hidup masyarakat di era modernisasi akan selalu memposisikan dirinya pada skala yang sedang nge-trend tak terkecuali lokasi-lokasi yang menjadi pusat perhatian (menarik) serta yang paling banyak dikunjungi disamping mengkuti perkembangan teknologi, gaya hidup, serta aksesoris ‘modern’ lainnya yang takkan selesai bila diulas secara detail.

Terkait gaya hidup, gaya hidup yang terjadi di kota-kota besar akan sangat kontras terhadap kehidupan di kota-kota yang belum tersentuh modernisasi. Ini jelas memiliki alasan yang logis yaitu bagi masyarakat yang hidup di kota-kota besar dengan perkembangan yang mengikuti era modernisasi pasti takkan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya. Hal ini terjadi karena moderninsai bersifat sangat dinamis sehingga secara tidak langsung akan memaksa mereka yang hidup di dalamnya tuk ikut serta dengan perkembangan yang ada. Dalam perkembangan yang terjadi dalam kota-kota biasa, secara umum masyarakatnya tidak terlalu ‘memperdulikan’ perkembangan yang ada. Hal ini karena umumnya perkembangan yang terjadi pada kota-kota ini tidaklah sedinamis pada kota-kota besar. Adapun perkembangan yang ada, umumnya adalah yang sesuai kebutuhan kota itu saja atau dengan kata lain agar kota-kota tersebut dapat merasakan perkembangan yang ada. Secara sederhana dapat dikatakan masyarakat yang hidup di kota-kota besar lebih konsumtif dibandingkan masyarakat yang tinggal di kota-kota biasa. 

Perkembangan yang selalu dilakukan memang tidak semuanya buruk namun diperlukan filterisasi agar kita dapat mengambil keputusan yang bijak dan menyesuaikan apa yang memang menjadi porsi kita dimana pun kita hidup. Mall-mall yang dibangun sejatinya memiliki kontiribusi positif diantaranya: sentralisasi perbelanjaan menjadi lebih tertata, fasilitas yang modern, rasa aman dan nyaman yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional. Namun di samping itu pembangunan sebuah mall juga tak luput dari dampak negatif yang diberikannya, yang meliputi: lahan yang umumnya adalah pemukiman umum dijadikan mall (yang seharusnya menjadi fasilitas publik disulap menjadi mall), budaya konsumtif yang dilakoni mall dilakukan secara tidak langsung dengan daya marketing sedemikian rupa, kurang memberikan wadah pendidikan bagi anak-anak (hal ini dapat berupa: bila orang tua sang anak lebih cenderung membawa anak-anak mereka untuk menghabiskan waktu bersama di mall bukan di tempat-tempat rekreasi atau tempat pengetahuan).

Plasa Senayan merupakan salah satu mall dengan kategori grade A.Tak dapat dipungkiri mall yang terletak di daerah Jakarta Pusat ini menjadi ikonik anak-anak muda untuk hangout. Di mal ini tersedia banyak toko mewah yang menyediakan barang seperti baju-baju dan restoran cepat saji, dan merupakan budaya Jakarta saat ini.Mal ini juga terkenal di kalangan ekspatriat (orang asing yang singgah di Indonesia), dikarenakan fasilitas dan sarananya yang baik dan terletak di pusat kota. Plaza Senayan adalah mal tiga lantai dengan dua departement store di sampingnya, Metro Department Store berada di sebelah kanan dan Sogo Department Store berada di sebelah kiri dari mal. Dua departement store ini memiliki empat dan lima lantai dan sebuah besemen. Di Plaza Senayan juga terletak toko buku luar negeri yang paling terkenal di dunia, Kinokuniya. Merek internasional di Plaza Senayan antara lain Dior, Louis Vuitton, Coach, Celine, Ermenegildo Zegna, Fendi, Hugo Boss, Bally, dan Aigner. Dengan berkendara hanya beberapa menit dari Semanggi menuju Plaza Senayan. Selain itu mall ini nantinya dapat diakses dengan program pemerintah yaitu monorel bila sudah selesai.

Salah satu daya tarik penting mall ini adalah jam raksasanya (Marygold Clock) yang merupakan jam musikal yang dapat memainkan musik setiap jam. Jam ini dibuat oleh Seiko, Jepang. Jam ini terdiri dari 6 patung pemusik, setiap patung memainkan alat musik yang berbeda. ‘Pemusik’ ini akan memainkan alat musiknya setiap jam diiringi dengan musik yang menyenangkan. Jam ini adalah yang paling unik di Jakarta dan paling pertama di Indonesia.

Dengan segudang fasilitas dan daya tarik yang dimiliki Plaza Senayan membuatnya menjadi salah satu ikon penting untuk dikunjungi masyarakat terkhusus bagi mereka yang berdomisili di Ibukota dan menjadi tempat kunjungan bagi turis-turis yang berkunjung ke Ibukota. Hal ini sangat baik sangat diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk mengarah ke pada yang lebih baik lagi karena secara tidak langsung ini akan membuat nama Indonesia lebih baik baik di kancah nasional maupun internasional. Namun sebagai penulis yang menjadi sorotan saya adalah anak-anak muda yang pada kekinian lebih menyukai tempat-tempat seperti ini disamping: club, bar, atau tempat-tempat hangout lainnya yang menjadi ciri khas manusia modern. Bukan melarang atau memunafikkan diri saya sebagai penulis terhadap tempat-tempat itu. Namun lebih kepada kiranya sebagai generasi bangsa kita dapat mengunjungi tempat-tempat yang lebih mengedukasi dan memperkaya pengetahuan khususnya tentang bangsa kita ini agar kelak kita tidak diperdaya oleh “produk-produk modernisasi” yang notabane membuat kita lupa akan “jati diri” kita sendiri dan bersikap acuh terhadap hal tersebut. Ini tentu tak boleh dibiarkan menjadi beranak-cucu disini saya sebagai generasi muda mengajak teman-teman untuk dapat memilah-milah hal prioritas dengan hal-hal non prioritas.

REFERENSI

economy.okezone.com

id.wikepdia.org

simascard.co.id

  • PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

    Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

    Perilaku Konsumen Rasional

    Suatu konsumsi dapat dikatakan rasional jika memerhatikan hal-hal berikut:

    • barang tersebut dapat memberikan kegunaan optimal bagi konsumen;
    • barang tersebut benar-benar diperlukan konsumen;
    • mutu barang terjamin;
    • harga sesuai dengan kemampuan konsumen.

    Perilaku Konsumen Irasional

    Suatu perilaku dalam mengonsumsi dapat dikatakan tidak rasional jika konsumen tersebut membeli barang tanpa dipikirkan kegunaannya terlebih dahulu. Contohnya, yaitu:

    • tertarik dengan promosi atau iklan baik di media cetak maupun elektronik;
    • memiliki merek yang sudah dikenal banyak konsumen;
    • ada bursa obral atau bonus-bonus dan banjir diskon;
    • prestise atau gengsi

    Peraturan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen

    Perlindungan konsumen adalah suatu hal yang sangat penting. Namun terkadang masih sering disepelekan oleh para pelaku usaha. Padahal perlindungan konsumen itu sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Th, 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya menurut UU RI No. 8 Tahun 1999 Pasal 3, UU Perlindungan konsumen ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :

    a.      meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk  melindung diri

    b.      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

    c.      meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

    d.      menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

    e.      menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

    f.       meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

                Sesuai dengan bunyi Pasal 8 ayat 1, secara jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Namun, sejauh ini UU Perlindungan konsumen tersebut belum sepenuhnya ditegakkan. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan Konsumen masih saja sering dirugikan oleh para produsen nakal. Masih banyak saja pelanggaran UU Perlindungan konsumen yang terjadi di Indonesia.

                Para pelaku usaha sering kali tidak memikirkan kepuasan konsumen. Tak jarang banyak pelaku usaha yang tega berbuat curang kepada konsumen yang nantinya akan merugikan konsumen demi tercapainya keuntungan yang maksimal atau untuk menekan ongkos produksi mereka. Dan yang lebih parahnya lagi jika konsumen tersebut tidak menyadari perbuatan curang para pelaku usaha tersebut. Terkadang bukan hanya pihak pelaku usaha saja yang salah, tetapi tak jarang juga kerugian itu disebabkan oleh ketidaktelitian konsumen dalam membeli produk-produk yang dijual oleh sang pelaku usaha.

                Sudah banyak kasus-kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang terjadi di Indonesia. Padahal sudah secara jelas diungkapkan dalam UU Perlindungan konsumen tersebut mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Tetapi tetap saja ada pelanggaran terhadap hal tersebut. Masih banyak konsumen yang tidak mengerti akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Demikian pula halnya dengan para pelaku usaha.

    HAK KONSUMEN MERUPAKAN HAK ASASI

                Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan persepsi bahwa hak-hak konsumen merupakan generasi Keempat Hak Asasi Manusia yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi dalam perkembangan umat manusia di masa yang akan datang. Dimana persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu
    kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain. Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennnya.

    Pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Generasi pertama, yaitu pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi.

     Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:

    • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
    • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
    • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
    • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
    • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
    • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
    • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

    Hak-hak Konsumen

    Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :

    1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
    2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
    3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
    4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
    5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
    6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
    7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
    8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
    9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

    Kewajiban Konsumen

    Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :

    1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
    2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
    3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
    4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

    LPK (Lembaga Perlindungan Konsumen)                 

    merupakan lembaga yang memberikan perlindungan kepada konsumen , memberikan kepastian hukum terhadap hak hak konsumen dalam memperoleh nilai dari penggunaan suatu konsumsi barang dan jasa

    Amandemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    Amandemen/penyempurnaan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dilakukan melalui serangkaian kegiatan mulai dari pemetaan pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang memerlukan penyempurnaan, melakukan pembahasan dengan para pakar dan praktisi hukum pidana dalam forum group discussion yang intensif dan terakhir seminar membahas penyempurnaan naskah akademis Undang-undang dimaksud.

    Kegiatan penyusunan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen dimulai sejak akhir tahun 2005 dan selesai pertengahan tahun 2007. Naskah Akademis Amandemen Undang-undang perlindungan konsumen sudah disampaikan kepada Menteri Perdagangan melalui Surat Ketua BPKN No. 42/BPKN/Set/7/2007 tanggal 5 Juli 2007 perihal usulan perubahan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk dapat dimasukkan dalam Proglenas tahun 2011.

    Beberapa hal mendasar dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang diusulkan untuk disempurnakan diantaranya :

    1. Sistematika Undang-undang akan memisahkan secara jelas dan tegas antara tanggungjawab Pelaku Usaha barang dengan tanggungjawab Pelaku Usaha jasa, karena secara hukum kedua jenis tanggungjawab tersebut memiliki perbedaan yang mencolok.
    2. Jenis tanggungjawab Pelaku Usaha akan terdiri dari dua jenis, yaitu tanggungjawab kontraktual, yaitu tanggungjawab Pelaku Usaha berdasarkan kontrak yang dibuatnya, dan tanggung jawab produk (product liability) yaitu tanggungjawab Pelaku Usaha barang bergerak atas dasar tanggung jawab langsung (strict liability).
    3. Penyelesaian sengketa konsumen akan dipisahkan secara tegas antara penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi, dan penyelesaian secara non litigasi dibatasi dalam nilai gugatan tertentu.
    4. Penyelesaian sengketa konsumen secara non litigasi yang dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dapat digambarkan sebagai berikut:

    1.  Gugatan konsumen terhadap Pelaku Usaha harus diputuskan oleh BPSK dalam waktu 21 hari kerja

    2.  Putusan BPSK bersifat final dan mengikat (final and binding);

    3.  Dalam 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan BPSK, Pelaku Usaha wajib melaksanakan putusan tersebut;

    4.  Baik Pelaku Usaha maupun Konsumen dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK, dan Pengadilan Negeri harus memberikan  

         putusan dalam waktu 21 hari kerja;

    5.  Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan Pengadilan Negeri, dan Mahkamah Agung harus memutuskan

         dalam waktu 30 hari.

    6.  Apabila Pelaku Usaha maupun Konsumen tidak mengajukan keberatan, dan si Pelaku Usaha juga tidak melaksanakan putusan BPSK dalam tenggang waktu 7 hari terhitung sejak putusan BPSK, maka

         BPSK wajib menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik.

    7.  Kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang berbagai lembaga, akan ditata kembali antara lain :

         a.   Badan Perlindungan Konsumen Nasional ( BPKN )

              Badan ini akan lebih difungsikan sebagai badan yang mengkoordinasikan mulai dari kebijakan sampai dengan pelaksaan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.

          b.  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK )

              Badan ini akan difokuskan pada uapaya penyeleasain sengketa konsumen secara non litgasi, sehingga fungsi – fungsi pengawasan , penelitian, konsultasi dan lain – lain yang sekarang dimiliki oleh BPSK , akan dikembalikan kepada lembaga atau aparat pemerintah terkait.

          c.  Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
               Akan semakin diakui eksistensi LPKSM sebagai mitra dalam penegakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bidang garapannya akan diarahkan pada spesialisasi, misalnya LPKSM Kelistrikan, LPKSM Kesehatan, LPKSM Perbankan, dan lain-lain

    Contoh-contoh pelanggaran hak-hak konsumen :

    Hak-hak konsumen yang dilanggar:

    1.      Hak atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan

    2.      Hak untuk memilih

    3.      Hak atas informasi

    4.      Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya

    5.      Hak untuk mendapatkan advokasi

    6.      Hak untuk mendapatkan pendidikan

    7.      Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif

    8.      Hak utnuk mendapatkan ganti rugi; dll

    HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

    Berdasarkan pasal 6 dan 7 undang-undang no 8 tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut :

    1. Hak pelaku usaha

    • Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
    • Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
    • Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
    • Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
    • Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

    2. Kewajiban pelaku usaha

    • Bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
    • Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
    • Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
    • Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
    • Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi .
    • Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
    • Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

    PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

    (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999)

    Pasal 8

    (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang

    a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan

    b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

    c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya

    d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

    e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

    f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut

    g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu

    h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label

    i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat

    j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

    (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud

    (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

    (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

    Pasal 9

    (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah

    a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

    b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru

    c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor , persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu

    d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi

    e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia

    f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi

    g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu

    h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu

    i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain

    j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap

    k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti

    (2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan

    (3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

    KLAUSULA BAKU

    Yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

    KLAUSA BAKU DILARANG MENURUT UNDANG-UNDANG
    Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

    1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
    2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
    3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
    4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
    5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
    6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
    7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
    8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

    TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

    (Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999)

    Pasal 24

    (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila

    a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut

    b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi

    (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

    Pasal 25

    (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

    (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut

    a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan

    b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

    Pasal 26

    Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

    Pasal 27

    Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila

    a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

    b. cacat barang timbul pada kemudian hari

    c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

    d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

    e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

    Pasal 28

    Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

    SANSKI DALAM ANTIMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

    Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

    Pasal 48

    (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
    (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
    (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

    Pasal 49

    Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

    a. Pencabutan izin usaha; atau

    b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau

    c.Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

    CONTOH KASUS TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

    Bedah Kasus Konsumen Fidusia

    Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses jual-beli lebih mudah,  bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah.

    Permasalahan mulai timbul ketika konsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.  Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran  dengan jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:

    Kasus Posisi 

    LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan  identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF.

    Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)  Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM  disertai berita acara penyerahan. Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.

    Penanganan Kasus

    Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut: 

    1. Ketentuan dalam klausula baku

    Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumen  mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8  Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:

    1. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yang dibeli konsumen;
    2. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
    3. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

    2. Pendaftaran Jaminan Fidusia                                
    PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.  42 Tahun 1999. Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.

    3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa 

    Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh. Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak  milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor. 

    Tips bagi Konsumen 

    Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang  menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

     

    Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut: 

    • Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu. 
    • Konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama mengenai: 

    a.hak-hak dan kewajiban para pihak 

    b. kapan perjanjian itu jatuh tempo; 

    c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi) 

    • Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka  pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut. 
    • Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian  melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

    REFERENSI

    http://www.ylki.or.id/hak-dan-kewajiban-konsumen

    http://www.perlindungankonsumen.or.id/

    http://theindonesianinstitute.com/perlindungan-konsumen-di-indonesia/

    http://lukmanuddin.wordpress.com/2013/11/24/kasus-tentang-perlindungan-konsumen/

    http://bobobtika.blogspot.com/2013/04/bab-12-perbuatan-yang-dilarang-bagi.html

    http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/konsumen/asiamaya_uu_perlindungan_konsumen_bab4.html

    http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/

     

     

    MoU

     

    KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM KONTRAK A. Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.U)

    Memorandum adalah suatu peringatan, lembar peringatan, atau juga suatu lembar catatan.29 Memorandum juga merupakan suatu nota/ surat peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk komunikasi yang berisi antara lain mengenai saran, arahan dan penerangan.30Terhadap suatu M.O.U, selain istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan. Tetapi, walaupun begitu istilah M.O.U tetap merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya.

    Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah M.O.U. 31

    Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan ke dalam berbagai istilah yang bervariasi, yang tampak belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah seperti “Nota Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”.

    Sebenarnya M.O.U itu sama saja dengan kesepahaman-kesepahaman lainnya. Bidangnya juga bermacam-macam, bisa mengenai perdagangan, jual-beli, perjanjian antar negara, penanaman modal, ataupun bidang-bidang lainnya. Bahkan paling tidak secara teoritis, M.O.U dapat dibuat dalam bidang apapun.32

    Ada beberapa alasan mengapa dibuat M.O.U terhadap suatu transaksi bisnis, yaitu :33

    a. Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak.

    b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, dibuatlah M.O.U yang akan berlaku untuk sementara waktu.

    c. Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah M.O.U.

    d. M.O.U dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (direktur) dari suatu perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis.

     

    Kedudukan M.O.U

    Sebelum membahas lebih detail mengenai kedudukan M.O.U. dapat dikatakan sebagai kontrak atau bukan, maka disini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai asas-asas yang berlaku dalam hukum kontrak. Asas-asas tersebut antara lain :35

    (1) Hukum kontrak bersifat mengatur

    Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Hukum memaksa (dwingend recht, mandatory law) b. Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong kepada hukum yang mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam kontrak mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut kecuali undang-undang menentukan lain.

    (2) Asas kebebasan berkontrak

    Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya adalah bahwa para pihak bebas membuat kontrak dan mengaturnya sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

    (a) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

    (b) Tidak dilarang oleh undang-undang

    (c) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

    (d) Adanya suatu itikad baik

    Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.

    (3) Asas pacta sun servanda

    Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak.

    (4) Asas konsensual dari suatu kontrak

    Hukum kita juga menganut asas konsensual. Maksudnya asas konsensual ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kesepakatan, tentunya selama syarat sahnya kontrak lainnya sudah terpenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah punya akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak.

    (5) Asas obligator dari suatu kontrak

    Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator. Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, dipergunakan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan. Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” (levering).

    Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya suatu kontrak dan saat peralihan hak milik ini, berbeda-beda dari masing-masing sistem hukum yang ada, yang terpadu ke dalam 2 (dua) teori sebagai berikut :

    (a) Kontrak bersifat riil

    Teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat mengajarkan dimana suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara riil. Artinya, kontrak tersebut mengikat jika telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata sepakat saja belum punya arti apa-apa menurut teori ini. Prinsip transaksi yang bersifat “terang” dan “tunai” dalam hukum adat Indonesia merupakan perwujudan dari prinsip kontrak riil ini.

    (b) Kontrak bersifat final

    Teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak telah mengikat dan milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak khusus.

    Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai :

    (1) Materi/ substansi dalam M.O.U

    Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal-pasal M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam M.O.U tersebut yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U disebutkan mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek, dimana kedua belah pihak menyetujui untuk saling bekerja sama dalam pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah perjalanan salah satu pihak ingin membatalkan kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak berprospek bagus. Dengan adanya pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan pihak lain yang bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut merasa telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran-anggaran yang dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan, dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U tersebut, maka M.O.U yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah dinyatakan dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.36

    Akan tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal M.O.U disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur pula dalam perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi dalam M.O.U mengatur hal-hal yang demikian, maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka M.O.U semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final dalam pembuatannya.37

    (2) Ada tidaknya sanksi

    Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak.38

    Karena adanya bermacam-macam pendapat mengenai kedudukan dari M.O.U, maka dikenal dua macam pendapat sebagai berikut:

    1. Gentlemen Agreement

    Pendapat ini mengajarkan bahwa M.O.U hanyalah merupakan suatu gentlement agreement saja. Maksudnya kekuatan mengikatnya suatu M.O.U tidak sama dengan perjanjian biasa, sungguh pun M.O.U dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam praktek jarang M.O.U dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat golongan ini menyatakan bahwa M.O.U mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.

    2. Agreement is Agreement

    Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detil ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap saja merupakan suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat ini untuk mencari alas yuridis yang tepat bagi penggunaan M.O.U adalah terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.

    Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan suatu teori yang disebut teori promissory estopel. Teori promissory estoppel atau disebut juga dengan detrimental reliance mangajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak.40

    Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi (quasi contract atau implied in law). Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada.41

    Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka mengikatnya hanya pun hanya terhadap hal-hal pokok tersebut. Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut. Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam M.O.U tersebut.

    Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu pengamatan yang jeli terhadap substansi yang terdapat dalam M.O.U tersebut, apakah materinya mengandung unsur kerugian non moral atau kerugian secara finansial apabila tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U mengandung sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu material dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti yang ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact), yakni sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.42M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan dengan teori ini maka dapat disebut sebagai suatu kontrak dengan segala macam konsekuensinya.

    Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut hanya berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal kesepakatan mengenai suatu proyek-proyek besar. Dan hal ini tentunya tidak mempunyai efek apapun terhadap kekuatan hukum suatu M.O.U.

     

    REFERENSI

    repository.usu.ac.id

    http://www.spocjournal.com/hukum/402-kedudukan-memorandum-of-understanding-m-o-u-ditinjau-dari-segi-hukum.html

    ASAS KONSENSUALISME

    PENDAHULUAN
    Sekilas, apabila kita mendengar kata kontrak, kita langsung berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Dan apabila melihat berbagai tulisan, baik buku, makalah, maupun tulisan ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah salah sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis.

    Dalam pengertiannya yang luas kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih. Dua orang yang saling mengucapkan sumpah perkawinan, sedang menjalin kontrak perkawinan; seseorang yang sedang memilih makanan di pasar menjalin kontrak untuk membeli makanan tersebut dalam jumlah tertentu.

    Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (tentunya perjanjian yang mengikat). Dalam pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari :

    1. Perjanjian; dan
    2. Undang-undang

     

    Kontrak dalam Hukum Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, berarti perjanjian. Salah satu sebab mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu dapat mempersamakan dengan kontrak adalah karena dalam pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH

    Perdata tidak memuat kata “perjanjian dibuat secara tertulis”. Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, hanya menyebutkan sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.1

     

    B. Asas-Asas Hukum Kontrak

    Dalam hukum kontrak dikenal beberapa asas, di antaranya adalah sebagai berikut :

    1. Asas Konsensualisme
    Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud       asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan.

     

    Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para          pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligator, yakni        melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

    Asas konsensualisme terdapat terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata bersifat dan berasas konsensualisme, kecuali ada beberapa perjanjian merupakan pengecualian dari asas tersebut, misalnya seperti perjanjiAn perdamaian, perjanjian perburuhan, dan perjanjian penghibahan. Kesemua perjanjian yang merupakan pengecualian tersebut, belum bersifat mengikat apabila tidak dilakukan secara tertulis. 3

     

    2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) 

    Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hokum kontrak. Didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada pasal 1320 BW bahwa semua perjanjian yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.

    Maksud dari asas kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut
    1. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
    2. Tidak dilarang oleh undang-undang
    3. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik

    3. Asas Mengikatnya Kontrak ( Pacta Sunt Servanda ) 

    Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 6

    4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

    Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik ( goeder trouw, bona fide ). Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Itikad baik disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan suatu kontrak. Sebab, unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut. 

    C. Syarat Sahnya Kontra

    1. Kesepakatan
    Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.

    Para pihak yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
    Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika para pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan dibebani untuk membuktikan kaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali pemegang akta autentik tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkallah yang harus membuktikan bahwa akta autenti tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan. 

    2. Kecakapan

    Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 
    1. Orang-orang yang belum dewasa, belum berusia 21 tahun dan belum menikah
    2. Berusia 21 tahun tetapi di bawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros dan;
    3. Orang yang tidak berwenang.
    Sebetulnya ada satu lagi yang dianggap oleh KUH Perdata tidak cakap hukum yaitu perempuan, akan tetapi saat ini undang-undang sudah menetapkan lain yaitu persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki.

    3. Hal tertentu
    Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
    Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”. 10
    4. Sebab yang halal
    Istilah kata halal yang dimaksud di sini bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 11
    Isi perjanjian harus memuat/causa yang diperbolehkan. Apa yang menjadi obyek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 12

    D. Unsur-Unsur Kontrak
    1. Unsur Esensiali

    Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan. 13

    2. Unsur Naturalia

    Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi. 14

    3. Unsur Aksidentalia

    Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada satu mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula oleh klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsure esensial dalam kontrak tersebut. 15

    D. Akibat Hukum Suatu Kontrak 

    Akibat hukum suatu kontrak pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk daripada akibat hukum suatu kontrak. Kemudian, hak dan kewajiban ini tidak lain adalah hubungan timbal balik dari para pihak, maksudnya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pun sebaliknya, kewajiban di pihak kedua merupakan hak bagi pihak

    pertama. Dengan demikian, akibat hokum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari pada suatu kontrak itu sendiri.

    Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.16

    E. Berakhirnya Suatu Kontrak 

    Berakhirnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Yang diartikan dengan berakhirnya perikatan adalah selesainya atau hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor tentang sesuatu hal. Pihak kreditor adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan lain-lain. 17
    Disebutkan dalam KUH Perdata tentang berakhirnya perikatan diantaranya yaitu:

    1. Karena Pembayaran
    2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
    3. Karena pembaharuan utang (Novasi)
    4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
    5. Karena percampuran utang (Konfusio)
    6. Karena pembebasan utang
    7. Karena musnahnya barang yang terutang
    8. Karena batal atau pembatalan
    9. Karena berlakunya suatu syarat batal
    10. Karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)

     

    REFERENSI

    http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/02/13/pengantar-hukum-kontrak/

    http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/09/asas-asas-kontrak-perjanjian/

    http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/asas-kebebasan-berkontrak-pada-jasa.html

     

    ASAS KEBEBASAN KONTRAK

    PENDAHULUAN

    Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

    Selama perkembangannya hampir setengah abad Hukum Perjanjian Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), dimana sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi pemerintah.

    Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian. secara yuridis, perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti

    bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hokum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. (Subekti, 1997: 13).

    Kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku yang merupakan bahasan dari makalah ini dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dewasa ini, terlebih dalam dunia bisnis yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian. Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan yang sekaligus menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian khusus kaitannya serta hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.

    PEMBAHASAN

    Perjanjian Adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih (pasal 1313 KUH Perdata). Defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan tersebut adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap oleh karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Menurut Sri Soedewi Masychon Sofyan, perjanjian adalah suatu perbuatan hokum dimana seorang atau lebih mengkatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. (A. Qiram Syamsuddin Meliana, 1985: 7). Selain itu menurut R. Subekti (1997: 7) Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedang perjanjian menurut R. Wiryono Pradjadikoro (1981: 11) adalah suatu perbuatan hukum dimana mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. Selanjutnya menurut KRMT Tirtadiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh

    undang-undang. (A. Qiram Syamsuddin Meliana, 1985: 6). Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur

    perjanjian, yaitu :

    1. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang, Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk

    melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang.

    2. Adanya persetujuan atau kata sepakat, Persetujuan atau kata\ sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.

    3. Adanya tujuan yang ingin dicapai, Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian.

    4. Adanya prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan, Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati.

    5. Adanya bentuk tertentu, Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yangdibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

    6. Adanya syarat-syarat tertentu, Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian yang antara satu dengan yang lainnya dapat menuntut pemenuhannya.

     

    Syarat Sahnya Perjanjian

    Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang terdapat pada setiap perjanjian, dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka suatu perjanjian dapat berlaku sah. Adapun keempat syarat tersebut adalah:

    1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian

    2. Kecakapan untuk membuat perjanjian

    3. Suatu hal tertentu

    4. Suatu sebab yang halal

    Ke empat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu :

    1. Syarat subyektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subyeksubyek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.

    2. Syarat obyektif, yaitu syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian. Ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum dengan kata lain batal sejak semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian.

     

    Asas-asas Hukum Perjanjian

    a. Asas Kebebasan Berkontrak

    hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contracts vrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbar system).

     b. Asas Itikad Baik

    Dalam hukum perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah apelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.

     c. Asas Pacta Sun Servada

    Asas Pacta Sun Servada adalah suatu asas dalam hokum perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuat seperti kekuatan mengikat suatu undang-undang, artinya bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para piha akan mengikat mereka seperti undang-undang. Dengan demikian maka pihak ke tiga bisa menerima kerugian karena perbuatan mereka dan juga pihak ketiga tidak menerima keuntungan karena perbuatan mereka itu, kecuali kalau perjanjian itu termasuk dimaksudkan untuk pihak ke tiga. Asas ini dalam suatu perjanjian dimaksudkan tidak lain adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu.

    Kalaulah diperhatikan istilah perjanjian pada pasal 1338 KUH Perdata, tersimpul adannya kebebasan berkontrak yang artinya boleh membuat perjanjian, baik perjanjian yang sudah diatur dalah KUH Perdata maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum dagang atau juga perjanjian jenis baru, berarti di sini tersirat adanya larangan bagi hukum untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen bahwa mereka tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

    d. Asas Konsensuil

    Maksud dari asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dimana harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat. Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan. Terhadap asas konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak dipenuhi formalitas tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda tidak bergerak.

    e. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian

    Asas ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pada asasnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak, pihak ke tigapun tidak bisa mendapat keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang. Asas berlakunya suatu perjanjian ini diatur dalam pasal yaitu: Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan ini tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak etiga mendapat manfaat karenanya; selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317. 

    Perjanjian Baku

    Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum Inggris menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badruzaman (1994: 46), menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahsa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga

    memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif dari perjanjian baku “Vera Bolger” menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Maksudnya adalah jika debitur menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada. Rijken mengatakan bahwa perjanjian baku adalah klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. Handius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:

    Standaardvoorwaarden zijnschriftelijke concept bedingen welke zijn opgesteld om zonder orderhandelingen omtrent hun inhoud obgenomen te worden Indonesia een gewoonlijk onbepaald aantal nog te sluiten overeenkomsten van bepaald aard” artinya: “Perjanjian baku adalahkonsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya danlazimya dtuangkan dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnyatertentu”. (Mariam Darus Badruzaman 1994: 47).Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:

    1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak

    lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

    2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya.

    3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”. Kaitannya dengan pertanyaan/masalah tersebut, sebagaimana juga yang telah dituangkan dalam kerangka teori, bahwa unsur yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal

    1320 KUH Perdata ada empat, yaitu :

    a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;

    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    c. Suatu hal yang tertentu;

    d. Suatu sebab yang halal.

    Kesepakatan mereka (para pihak) mengikatkan diri adalah merupakan asas esensial dari hukum perjanjian, yang juga biasa disebut dengan asas konsensualisme, yang menentukan “ada”nya perjanjian. Asas kebebasan ini juga tidak hanya terdapat atau milik KUH Perdata saja, akan tetapi asas ini berlaku secara universal, bahkan asas ini juga dikenal dalam hukum Inggris. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi.

    Asas kebebasan berkontrak juga berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Dan perjanjian yang dibuat trsebut sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. Meninjau  masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” pada perjanjian baku, maka secara teoretis yuridis perjanjian tersebut (standard contract) tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Dikatakan demikian sebab jika melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan para debitur untuk mengadakan “real bergaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur dalam keadaan ini tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian baku tersebut, dan hal ini bertentangan dengan pasal 1320 jo 1338 KUH

    Perdata di atas.

    Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham bahwa apakah perjanjian baku tersbut melanggar asas kebebasan berkontrak atau tidak. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. 

    Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan asumsi bahwa jika debitur menerima dokumen suatu perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

     

    KESIMPULAN

    Perjanjian baku secara teoritis yuridis bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan tidak terpenuhinya ketentuan undangundang yang mengatur. Namun di sisi lain kitapun tak dapat menutup mata akan perkembangan yang terjadi mengenai hal ini, dimana dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat cenderung berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan, dengan mempertimbangkan faktor efesiensi baik dari segi biaya, tenaga dan waktu, dan lainnya. Namun dimata penulis, penggunaan perjanjian baku ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan, dengan pertimbangan utama yaitu pada aspek perlindungan buat debitur/konsumen.

     

     

     

     

     

     

     

    REFERENSI

    e-journal.upstegal.ac.id

    http://legalbanking.wordpress.com/2012/05/03/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-standard-kontrak-perjanjian-baku-dalam-bidang-bisnis-dan-perdagangan/

    http://nurmaliaandriani95.blogspot.com/2013/06/asas-kebebasan-berkontrak.html

    http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum-perjanjian-di-indonesia-238895.html