Skema Ponzi Bergema Dalam Perbankan Indonesia

Bangsa ini seakan selalu memiliki “tamu masalah” di setiap sektor yang berjalan. Dalam setiap sektor seakan hanya tinggal menunggu saja waktu dan dinamika apa yang akan menimpa sehingga memberikan citra buruk bagi sektor yang tersangkut dalam masalah tersebut.

Keragaman sektor yang berjalan di bangsa ini sangat berperan demi kekokohan berdirinya bangsa ini. Meliputi sektor pertahanan, hukum, ekonomi, politik, pertanian, dan social yang kesemuanya pasti memiliki kebijakan-kebijakan yang memang sepantasnya berfungsi maksimal demi keeksistensian bangsa baik dari kacamata domestik maupun internasional. Akan sangat disayangkan bila hal-hal sepele pula yang malah membuat bangunan yang telah ditata dengan fondasi yang kuat oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan harus terguncang dengan realita yang ternyata menggerogoti system internal sector.

Memang tak ada yang mampu menolak ataupun menghentikan hal apa yang akan datang, apakah itu masalah dan kebaikan kesemuanya memang sudah menjadi ketetapan dari Sang Pencipta. Namun hal yang menjadi perhatian utama ialah bukan menunggu waktu untuk memberikan hasil namun semestinya menjalankan waktu yang ada dengan masukan-masukan terbaik dari setiap pihak terkait guna menghasilkan buah bermanfaat bagi lingkungan yang dihinggapi.

Kenyataan memang hanya memiliki dua rasa, manis dan pahit. Kedua rasa ini kembali kepada individu yang mengalaminya, bagaimana menafsirkannya pada pola fikir masing-masing.

Investasi yang pada koridornya adalah sebagai pola yang diserap guna meningkatkan perekonomian negara, meningkatkan cadangan devisa negara untuk membawa negara kepada era yang lebih siap dalam menghadapi siklus dunia yang selalu berkembang, memaksakan dengan suka atau tidak suka negara yang ada untuk mau membangun negaranya dengan berfondasi pada “bekal mentah” yang dimilikinya untuk memprosesnya menjadi sebuah hasil yang dapat memiliki nilai ekonomi dari kacamata domestic maupun internasional.

Terakhir ini data yang kembali mengiris hati, terkena pada eksistensi investasi di negara ini yang menjadi konsumsi public untuk mempertanyakan peletakan kepercayaan pada investasi yang berjalan dalam negara. Kasus penipuan investasi emas yang melibatkan Raihan Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama besar. Kasus ini menambah panjang daftar penipuan berkedok investasi di Indonesia. Dimana masih dalam ingatan kita beberapa tahun lalu, muncul kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), G Cosmos, Voucher Key, dan hingga yang terakhir saat ini kasus bail out Bank Century. Dalam kualitas kedok yang dijalankan oleh actor-aktor terkait masih tergolong tingkat bawah (primitif) dimana masih mengandalkan keambiguan terhadap system regulasi dan pemahaman investor.

Publik seakan tak dapat menahan kekecewannya dengan berbagai tindakan-tindakan untuk melampiaskan rasa kecewa yang dirasakan dari apa yang telah terjadi. Aksi demo yang kian marak telah dilakukan namun pemerintah seakan bungkam terhadap masalah ini. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seakan hanya sebagai topeng untuk meredam situasi yang bergejolak, namun kebijakan itu diam di tempat tanpa adanya eksekusi dalam tindak-lanjutnya.

Bertambahnya ponzi sebagai masalah baru dalam lingkungan investasi tak dapat dianggap remeh, karena dari penafsiran berdasarkan literatur yang ada ponzi tidaklah seharusnya menjadi penghadap serta menimbulkan masalah. Menelusuri lahirnya ponzi, istilah ponzi diambil dari nama mafioso Italia yang menetap di AS, yakni Charles Ponzi, yang menjalankan usaha dengan cara kotor melalui tipu muslihat untuk menumpuk keuntungan. Pemikir ekonomi beraliran strukturalis, Hyman Minsky, memaparkan secara teoretis perilaku agen ekonomi. Ada tiga karakteristik, yaitu mereka yang tergolong hedge, speculative, dan ponzi.

Dalam golongan hedge, aktor usaha yang menjalankan usahanya mengatur portofolio kekayaannya dengan hati-hati serta menghindari resiko-resiko berlebihan. Ini berarti pelaku dalam golongan hedge akan sangat memperhatikan aliran pemasukan dan pengeluaran yang berlalu-lalang dalam pencatatan akuntabilitas.

Golongan spekulative umumnya cenderung berani untuk mengambil keputusan sehingga terkadang tergesa-gesa dalam bertindak membuat mereka harus memasuki situasi beresiko pada beberapa kesempatan.

Adapun panzo memiliki unsur “kesengajaan” dimana dalam praktiknya, golongan ini berkedok seakan tidak mampu melunasi hutangnya sehingga membiarkan hutang itu menumpuk bahkan bila asset yang dimilikinya dikalkulasi tidak akan mampu untuk melunasi hutang yang ada.

Ironisnya, aktivitas panzo yang berjalan dilakoni oleh pihak elit dalam kondisi yang sadar. Kasus sama juga terjadi pada kasus GTIS atau QSAR, yang juga menggunakan nama-nama besar sebagai topeng guna mempermulus akal bulus yang mereka rancang, skema yang dijalankan pun seakan mengambang dan tidak mampu dipertanggungjawabkan.

Sifat internal manusia yang selalu tak pernah puas akan apa yang telah diperoleh terkadang menjadi bumerang bagi individu-individu yang terlalu mengedepankan egonya. Mereka hanya memikirkan hal-hal sesaat (dalam pelaku bisnis) selalu ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di saat kesempatan memungkinkan tanpa mempertimbangkan resiko-resiko yang dapat datang dengan matang. Ini jugalah yang menjadi salah satu factor mengapa bursa kadang dapat naik secara tajam namun juga diiringi dengan penurunan yang tak kalah tajam terjadi.