Liberalisasi Ekonomi guna mencapai titik Globalisasi, Sudahkah ?

Meraih lebih mudah daripada mempertahankan. Pepatah ini mungkin sudah sangat awam bagi telinga kita dan tentu saja kita dapat mencerna makna tersirat dari pepatah tersebut. Adapun kondisi yang menjadi kacamata perbincangan adalah eksistensi perkembangan sector ekonomi Indonesia. Banyak sekali  hal yang perlu digali pada sector ini selain perhatian terhadap sector lainnya. Fenomena-fenomena yang tercatat oleh sejarah yang dimulai dari pra-kolonial sampai kepada masa kemerdekaan, Indonesia telah “mencicipi” rasa kenegaraan yang dikepalai oleh aktor-aktor yang berperan pada masa itu. Memasuki masa kemerdekaan pun ada halaman baru yang telah dihadapi perputaran orde yang ada, dimulai dari ORLA sampai kepada Orde Reformasi yang masih berlangsung saat ini juga tidak terlepas dari penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan dalam jangkauan regional dan global.

Data terakhir BPS mencatat pada kuartal akhir 2012, Indonesia mencapai pertumbuhan PDB hingga 6,2%. Angka yang menarik bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa saat ini yang masih dalam kondisi yang tidak stabil. Tentu saja kondisi ini akan menjadi peluang yang sangat baik bagi Indonesia “menyisipi” produk-produk yang berkualitas di kancah global dengan kondisi yang ada saat ini tentu peluang yang tersedia akan sangat berpotensi menghasilkan bila dicanangkan dan dilakukan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung dan tentu saja akan sangat menunjang perolehan PDB yang telah diperoleh kepada pencapaian yang lebih tinggi. Itu adalah harapan kita bersama.

Terkait pertumbuhan PDB yang telah dicapai, yang menjadi pertanyaan bersama adalah: “Mampukah Indonesia meningkatkan atau menjaga perolehan yang ada pada masa selanjutnya?” Tentu ini belum mampu untuk dijawab. Namun prediksi-prediksi yang berkacamata pada kondisi terakhir yang ada dapat menjadi referensi bersama untuk ditelaah kembali. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang dilakukan pekan lalu, pemerintah optimis dengan target di 2014 pertumbuhan PDB sebesar 6,8 persen. Selain itu target angka kemisikinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 adalah 8-10 persen per tahun 2014. Sementara data terakhir, September 2012 menunjukkan bahwa angka kemiskinan 11,6 persen atau sekitar 28,6 juta jiwa. Bila dilihat dari hasil kinerja KIB II tercatat bahwa di tahun 2009, penduduk miskin yang terentaskan 2,43 juta jiwa (1,27%). Dan dalam 2010-2012, berturut-turut semakin surut dalam pengerjaanya, pada 2010 sebanyak 1,51 juta jiwa (0,82%), pada 2011 sebanyak 1 juta jiwa (0,84%), dan pada 2012 sebanyak 0,89 juta jiwa (0,53%). Sangat mencengangkan ! Bila dilihat masa kerja KIB II yang bersisa 18 bulan akan sangat mustahil untuk menyelesaikan rancangan-rancangan yang telah disepakati untuk diselesaikan bila tidak ada terobosan nyata yang dilakukan. Sangat memperihatinkan bila ini tidak menjadi perhatian target pemerintah dalam penyelesaian tugasnya. Ini masih dalam masalah kemiskinan, belum berbicara sector-sektor lain seperti: hukum, social, pertahanan dan keamanan yang dalam pelaksanaan lapangannya masih diperlukan pembenahan dan pengawasan untuk mencapai target yang dicanangkan.

Dalam menjalani pertumbuhan PDB yang mencapai angka diatas 6 persen seharusnya ini menjadi momentum yang sangat baik bagi pemerintah dalam pembenahan masalah-masalah internal yang dimiliki negara. Bukan malah “berleha-leha” dalam pencapaian yang ada, sebab semuanya masih menjadi misteri. Hal ini dapat kita rasakan dimana pertumbuhan PDB yang ada tidaklah begitu berpengaruh bagi tingkatan masyarakat Indonesia. Berpengaruh hanya bagi mereka yang memiliki kuasa dan modal kuat. Ini dapat menjadi kesimpulan dengan menggunakan fakta penentasan masyarakat miskin yang masih morat-marit dan terkesan tak dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu hal konkrit yang dapat dilihat adalah penambahan infrastruktur yang juga belum menyebar secara tepat dan terkesan jalan ditempat tanpa adanya pelaksanaan.

Ketidakseimbangan dalam melaksanakan kebijakan juga menjadi masalah belum dapat diselesaikan dalam bangsa ini. Sekilas bekaca pada masa ORBA dimana masa itu kekuatan penguasa benar-benar “mematikan” potensi rakyat yang intin mengembangkan potensinya. Dengan adanya batasan-batasan yang diberikan menjadikan rakyat harus memilih di antara mengikuti aturan yang ada atau tetap dengan pendirian pribadi. Sangat disayangkan karena hal itu sudah dengan sengaja mematikan hak asasi yang seharusnya dimiliki setiap individu. Orde Reformasi yang ada sampai saat ini pun seakan “diturunkan” kebudayaan yang ada dimana niat pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi berkesan setengah hati yang dalam pelaksanaanya “memanjakan” para pelaku yang memiliki posisi yang strategis dalam birokrasi serta didukung dengan modal yang mencukupi. Entah sampai kapan masalah internal ini dapat dikikis secara perlahan hingga membuangnya dalam pelaksanaan sistem yang ada. Akan sangat berbahaya bila ini dibiarkan berkelanjutan tanpa batas. Sebab seumpama bom waktu, negara yang terpaut dalam masalah ini hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kejatuhan terparahnya disamping pencapaian-pencapaian yang diperoleh yang sebenarnya hanyalah “ampas” bila kesetengah-hatian dalam pelaksanaan ekonomi dapat ditekan dan diubah kepada fase yang berkeinginan untuk sepenuh hati dalam menjalankannya.

 Analisa Andrew Rosser (2002) menyangsikan bahwa persyaratan politik dan sosial bagi liberalisasi sudah terpenuhi di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada fenomena yang ada dimana masyarakat masih menggangap bahwa kata liberalisasi adalah kata kotor dan tak layak untuk dilakukan. Ini dapat didasarkan oleh rezim penjajah kolonial Belanda yang pada masa itu benar-benar menguras seluruh jiwa dan tenaga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga seakan diturunkan dari generasi ke generasi memunculkan dogma yang berkonsep bahwa kata liberalisasi adalah kata najis baik untuk dikatakan maupun dilakukan. Namun terlepas dari mindset tersebut fakta sejarah bangsa mencatat bahwa liberalisasi di Indonesia memang masih dilakukan setengah hati dan liberalisasi dilakukan hanya pada kondisi “tertekan”.

 Terlepas dari fakta-fakta yang terjadi dekat di sekitar kita dalam kawasan negara Indonesia sudah menjadi keharusan bagi kita sebagai anak-anak bangsa memiliki tekat dan keinginan penuh untuk mendaur ulang aspek-aspek terkait dalam seluruh sector yang ada untuk dituntun ke dalam pembenahan sehingga akan ada saatnya bangsa ini mampu berdiri dengan gagah dan memiliki wajah yang menarik untuk dipandang baik secara regional maupun global. Tindakan-tindakan pemerintah yang ada saat ini memang harus kita kritisi lebih lanjut dan memberikan masukan bila terjadi penyimpangan. Namun untuk tidak mendapatkan perlakuan yang sama lagi dari generasi pemerintahan yang pernah mengabdi ada baiknya kita mempersiapkan diri dengan potensi yang dimiliki guna menghadapi arus globalisasi yang akan terus mengalir dan bila ingin masuk ke dalamnya kita harus memiliki kesiapan mental dan landasan yang kokoh untuk mampu menyesuaikan diri didalamnya.